Sabtu, 22 September 2012

History of Majalengka


 Until the XV century Majalengka region is divided into three kingdoms:
1) Royal Talaga held by Sunan Corenda or better known as Sunan Parung
2) Kingdom of Rajagaluh held by King Cakraningrat
3) Sindangkasih kingdom, the king was a princess named Nyi Rambutkasih.

Sindangkasih kingdom, the king is a princess who has the pretty face and shapely named Nyi Rambutkasih is a Hindu fanatic. The kingdom is geographically located in Majalengka. Sindangkasih name is taken from the original Mandala Sindangkasih Ki is the seat held by Gedeng Sindangkasih son named Ki Ageng Surawijaya. Originally the name of the place is located in Cirebon area which was then taken by the authorities; were dise.but Ki Gedeng Sindangkasih long resident of Sumedang Disallow the Majalengka now (according to De Pacto Gelu and Talaga). Gedeng Nyi Nyi Sindangkasih also called Ambetkasih and over again is known as Nyi Rambutkasih is a beautiful queen shapely, have the ability and skill, admired and greatly respected by his people was the wife of King Siliwangi. He is the one who is trusted by the King Siliwangi to lead a group that intends to move to Pakuwan Pajajaran (now Bogor), then he became ruler in Sindangkasih as capital of Sumedanglarang.

Ruler in Sindangkasih is Nyi Rambutkasih. Since a long time Nyi Rambutkasih smell an impending Prince Muhammad accompanied his father Prince Panjunan in Sindangkasih in order to conduct dissemination activities of Islamic teachings and this activities is welcomed by the local community.

In Padepokan Sindangkasih, Rambutkasih is holding a meeting with all the senior officers in relation to the kingdom of the activities carried out by Prince Mohammed. When a special meeting is being held Prince Mohammed and his entourage came with the intention to meet with Nyi Rambutkasih Sindangkasih as queen in the kingdom. With Alhamdulillahirrobiralamin greeting, which means Prince Mohammed was grateful and happy to meet a beautiful princess and a ruler in Sumedang Larang, but with no thought in an instant Nyi Rambutkasih disappeared.

Simultaneously Prince Mohammed say: "Madya Rare" which means beautiful daughter had gone , so that the words of the then people call Majalengka. Since then, later Prince Mohammed accompanied his father Prince Panjunan ruled in Sumedang Larang / Sindangkasih, then on the 10th of Muharram 910 H which coincides with the date of June 7, 1490 AD, according to the command of Sunan Gunung Jati based in Cirebon set Prince Mohammed as the leader.

In his old age the Prince Mohammed settled on the slopes of the mountain which is on the south Majalengka until the end of the mountain now known as Mount Margatapa. The wife of Prince Mohammed Armilah Siti buried behind the pendopo (government offices) Majalengka, known as Nyi Gedeng Badori.

Source : http://www.untukku.com/artikel-untukku/sejarah-kota-majalengka-untukku.html
with some modification

Kamis, 30 Agustus 2012

Lokomotif CC300, made in Indonesia

Lokomotif CC300 merupakan salah satu seri lokomotif yang berada di Indonesia. Lokomotif ini dibuat oleh PT INKA desain dan integrasi sistemnya murni hasil pemikiran engineer Indonesia.
Lokomotif ini mempunyai panjang 19 m, lebar 2,642 m dan berat sekitar 90 ton. Kecepatan maksimalnya adalah 120 km/jam, power outputnya adalah 2500 HP dan memiliki traksi effort sebesar 270 KN untuk starting. Mesinnya memakai mesin diesel Caterpillar dengan transmisi dari Voith. Sistem pengereman memakai produk Wabtec, master controller memakai produk Woojin dari Korea Selatan, juga dilengkapi dengan genset C15 dari Caterpilar sehingga tidak memerlukan kereta pembangkit jika menarik rangkaian kereta penumpang.
Saat ini sudah ada 3 lokomotif CC300 yang dibuat oleh PT Inka dan sedang menjalani test run di pabrik Inka. Direncanakan lokomotif ini akan ditempatkan di Dipo lokomotif Jember karena dipo itu tak mempunyai banyak lokomotif. Belum diketahui pasti apakah PT Inka akan membuat lokomotif ini lagi.
Untuk Bogienya, juga merupakan hasil karya sendiri setelah melakukan serangkaian studi-studi. Bogie memakai sistem konstruksi yang didesain untuk kecepatan 120 Km/jam, kecepatan operasional 100Km/jam. Keistimewaan bogie ini merupakan bogie 3 gandar, sederhana, dan mudah dalam perawatan. Semua konstruksi menggunakan mildsteel.




Sumber
http://ardianita.wordpress.com/2011/01/15/lokomotif-diesel-hidrolik/
http://id.wikipedia.org/wiki/CC300
http://arsip76r.blogspot.com/2012/08/lokomotif-cc300.html
http://aryasaloka.blogspot.com/2012/06/new-lokomotip-cc-300.html
http://aryasaloka.blogspot.com/2012/07/spesial-cc-300-tes-run.html


Ki Anom Suroto

Ki Anom Suroto adalah seorang dalang Wayang Kulit Purwa. Ia mulai terkenal sebagai dalang sejak sekitar tahun 1975-an. Ia lahir di Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu Legi 11 Agustus 1948. Ilmu pedalangan dipelajarinya sejak umur 12 tahun dari ayahnya sendiri, Ki Sadiyun Harjadarsana. Selain itu secara langsung dan tak langsung ia banyak belajar dari Ki Nartasabdo dan beberapa dalang senior lainnya.
Dalang laris itu juga pernah belajar di Kursus Pedalangan yang diselenggarakan Himpunan Budaya Surakarta (HBS), belajar secara tidak langsung dari Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PDMN), Pawiyatan Kraton Surakarta, bahkan pernah juga belajar di Habiranda, Yogyakarta. Saat belajar di Habiranda ia menggunakan nama samaran Margono.
Pada tahun 1968, Anom Suroto sudah tampil di RRI (Radio Republik Indonesia), setelah melalui seleksi ketat. Tahun 1978 ia diangkat sebagai abdi dalem Penewu Anon-anon dengan nama Mas Ngabehi Lebdocarito. Tahun 1995 ia memperolah Satya Lencana Kebudayaan RI dari Pemerintah RI.
Ki H. Anom Suroto selain aktif mendalang, ia juga giat membina pedalangan dengan membimbing dalang-dalang yang lebih muda, baik dari daerahnya maupun dari daerah lain. Secara berkala, ia mengadakan semacam forum kritik pedalangan dalam bentuk sarasehan dan pentas pedalangan di rumahnya Jl. Notodiningratan 100, Surakarta. Acara itu diadakan setiap hari Rabu Legi, sesuai dengan hari kelahirannya, sehingga akhirnya dinamakan Rebo Legen. Acara Rebo Legen selain ajang silaturahmi para seniman pedalangan, acara itu juga digunakan secara positif oleh seniman dalang untuk saling bertukar pengalaman. Acara itu kini tetap berlanjut di kediamannya di Kebon Seni Timasan, Pajang, Sukoharjo. Di Kebon seni itu berdiri megah bangunan Joglo yang begitu megah dalam area kebon seluas 5000 M2.
Hingga akhir abad ke-20 ini, Anom Suroto adalah satu-satunya yang pernah mendalang di lima benua, antara lain di Amerika Serikat pada tahun 1991, dalam rangka pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di AS). Ia pernah juga mendalang di Jepang, Spanyol, Jerman Barat (waktu itu), Australia, dan banyak negara lainnya. Khusus untuk menambah wasasan pedalangan me-ngenai dewa-dewa, Dr. Soedjarwo, Ketua Umum Sena Wangi, pernah mengirim Ki Anom Suroto ke India, Nepal, Thailand, Mesir, dan Yunani.
Di sela kesibukannya mendalang Anom Suroto juga menciptakan beberapa gending Jawa, di antaranya Mas Sopir, Berseri, Satria Bhayangkara, ABRI Rakyat Trus Manunggal, Nyengkuyung pembangunan, Nandur ngunduh, Salisir dll. Dalang yang rata-rata pentas 10 kali tiap bulan ini, juga menciptakan sanggit lakon sendiri antara lain Semar mbangun Kahyangan, Anoman Maneges, Wahyu Tejamaya, Wahyu Kembar dll.
Bagi Anom Suroto tiada kebahagiaan yang paling tinggi kecuali bisa membuat membuat senang penontonnya, menghibur rakyat banyak dan bisa melestarikan kesenian klasik.
Anom Suroto pernah mencoba merintis Koperasi Dalang ‘Amarta’ yang bergerak di bidang simpan pinjam dan penjualan alat perlengkapan pergelaran wayang. Selain itu, dalang yang telah menunaikan ibadah haji ini, menjadi pemrakarsa pendirian Yayasan Sesaji Dalang, yang salah satu tujuannya adalah membantu para seniman, khususnya yang berkaitan dengan pedalangan.
Dalam organisasi pedalangan, Anom Suroto menjabat sebagai Ketua III Pengurus Pusat PEPADI, untuk periode 1996 – 2001.
Pada tahun 1993, dalam Angket Wayang yang diselenggarakan dalam rangka Pekan Wayang Indonesia VI-1993, Anom Suroto terpilih sebagai dalang kesayangan.
Anom Suroto yang pernah mendapat anugerah nama Lebdocarito dari Keraton Surakarta, pada 1997 diangkat sebagai Bupati Sepuh dengan nama baru Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Lebdonagoro.

Ki Manteb Soedharsono

Ki Manteb Soedharsono lahir pada hari Selasa Legi, tanggal 31 Agustus 1948 di Dukuh Jatimalang, Kelurahan Palur, Kecamantan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Ki Manteb lahir dan tumbuh dari keluarga dalang dan dalam darahnya mengalir darah dalang kondang (Dalang Tus), Kakeknya adalah soerang dalang kondang, dan ayahnya, Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo adalah seorang dalang yang pada masa kejayaannya cukup disegani, sedangkan ibunya adalah pesinden dan pengrawit yang berpengalaman.

Sejak kecil Ki Manteb Soedharsono sangat rajin dan  tekun mengikuti pementasan orang tuanya. Pengalaman masa kecilnya yang begitu akrab dengan seluk-beluk dunia pewayangan telah membentuk pribadi Ki manteb kaya akan memori dunia pertunjukan wayang kulit. Kedisiplinan sang ayah dalam mendidiknya, menjadikan kemampuan dan ketrampilan Manteb kecil terus berkembang. Pada saat usianya 5 tahun ia  sudah dapat memainkan wayang dan manabuh beberapa instrument gamelan seperti demung, bonang dan kendang. Menatah wayangpun diajarkan oleh Ki Hardjo Brahim kepadanya. Tak heran jika pada usianya menginjak 10 tahun Ki Manteb sudah mampu menatah wayang kulit dengan bagus.

Tuntutan dan tantangan dari ayahnya untuk meneruskan garis dinasti dalang kondang, memacu Ki Manteb muda berjuang keras  dan berlatih,  dibarengi dengan proses tirakat laku bathin yang dilakoninya dengan sungguh-sungguh dan total. Pada usianya yang relatif muda (14 tahun) Ki Manteb telah mampu menguasai seluruh instrument musik gamelan. Ia-pun pernah dikenal sebagai tukang kendang cilik yang mumpuni dan sering mengiringi pertunjukan wayang yang digelar oleh dalang sepuh, Ki Warsino dari Baturetno, Wonogiri. Kesempatan itupun Ia manfaatkan untuk menimba ilmu pedalangan dari Ki Warsino. Disamping ia juga banyak berguru pada dalang-dalang senior lainnya seperti: maestro sanggit Ki Narto Sabdo dan Ki Sudarman Gondodarsono yang ahli sabet.

Ki Manteb Soedharsono, pada usia 18 tahun mulai menjalani profesinya sebagai dalang. Kematangan sabet dan penguasaannya pada musik gamelan menjadikan kariernya sebagai dalang melesat cepat.  Pada tahun 1982 Ki Manteb menjuarai Festival Pakeliran Padat se-Surakarta. Prestasi tersebut membuat namanya semakin  bersinar. Ketrampilannya memainkan sabet yang akrobatik, spektakuler, indah dan menghibur mengantarkan kesuksesannya menjadi dalang kondang dengan sebutan “Dalang Setan”. Dalam setiap pertunjukannya, Ki Manteb tampil dengan pakeliran wayang kulit klasik, tetapi kaya akan inovasi, indah, segar dan actual. Ia adalah pelopor dalam melakukan inovasi-inovasi dalam hal visualisasi,. Ki Manteb sangat mahir dalam menciptakan bahasa gerak wayang melalui sabet yang cerdas, segar dan sensasional sehingga bayangan wayang yang tercipta dalam kelir menjadi lebih memikat pandangan mata. misalkan gaya sabet dalam visualisasi peperangan, menari ataupun gerak sabet layaknya gerak keseharian yang berjiwa.

Berbagai unsur pertunjukan modern telah diadopsinya untuk memperkaya nuansa pakeliran tanpa menghilangkan kekentalan essensi dan nuansa Jawa.  Dan ruang artistic kelirpun semakin indah dan dinamis dengan dukungan  kreativitas tata cahaya yang digarap secara khusus. Dalam aspek musik iringan, Ki Manteb adalah inisiator dengan menghadirkan peralatan musik modern ke atas pentas, misalnya tambur, biola, terompet, ataupun simbal yang menjadikan pertunjukan wayang kulit manjadi lebih atraktif dan dinamis. 

Meskipun menekankan pada aspek keindahan visual namun pakeliran gaya Ki Manteb pada akhirnya tidak saja tampil sebagai tontonan yang menghibur tetapi juga memberikan ruang bagi masyarakat untuk melakukan dialog reflektif dengan kenyataan hidup yang dihadapi bersama, sarat dengan pesan-pesan moral baik berupa kritik-kritik terhadap pemerintah dan masyarakat, maupun harapan-harapan yang mendorong semangat optimistic bagi masyarakat penontonnya Dalam setiap kali pertunjukannya, Ki Manteb selalu mencoba memaknai dan menafsir ulang lakon yang disajikan. Tak jarang juga Ki Manteb mengadopsi pola penyusunan alur dramaturgi film dalam lakon-lakon wayangnya, seperti penggunakan alur flashback.   Penyusunan plot cerita yang kontekstual dengan isu-isu atau kondisi yang sedang berkembang di masyarakat menjadikan pertunjukakanya selalu up to date.

Kreativitas dan inovasi-inovasi yang intens dilakukan Ki Manteb mampu membawa pertunjukan wayangnya menjadi pertunjukan akbar yang tonton oleh ribuan orang.  Popularitas yang luar biasa itulah yang mengilhami sebuah produk obat “ Oskadon” menjadikan Ki Manteb sebagai brand image untuk mendongkrak omzet penjualan. dengan jargon “Oskadon Pancen Oye”, Dan hasilnya sangat fantastis, kenaikan omzet pemasaran hingga lebih dari 400%. Kerjasama yang telah berlangsung dari tahun 1990 hingga sekarang membuat produk tersebut sangat lekat dengan image Ki Manteb. Julukan “Dalang Oye” pun diberikan masyarakat kepadanya.

Dan puncak popularitas itu masih bertahan hingga kini. Masyarakat penontonnya tersebar di berbagai daerah di Indonesia, tidak hanya di pulau Jawa namun juga di luar Jawa. Sudah ribuan pementasan Ia gelar dengan berbagai maksud dan kepentingan, seperti untuk acara Ruwatan, pesta hajatan, kampanye politik ataupun gelaran pentas untuk menyosiakisaikan beragam program pemerintah seperti Keluarga Berencana (KB), Anti HIV Aids dan Narkoba, sosialisasi pemilu dan lain-lain. Dari sekian banyak lakon yang pernah ia mainkan, beberapa lakon menjadi sangat fenomenal, seperti “Banjaran Bima”,“Ciptoning”, “Wiratha Parwa”, “Dewa Ruci”, dan lain-lain.  Sebuah lakon special “Celeng Degleng” adalah merupakan lakon carangan Ki Manteb sendiri ketika mengintepretasi lukisan-lukisan karya Djoko Pekik “Berburu Celeng” yang menggambarkan tumbangnya rezim Soeharto.

Beberapa pertunjukan wayang kulit di luar negeri pun pernah Ki Manteb lakukan seperti di Amerika Serikat, Spanyol, Jerman, Jepang, Suriname, Belanda, Perancis,Belgia,Hongaria dan Austria. Dan ketika kesenian wayang ditetapkan oleh UNESCO sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible of Heritage of Humanity, Ki Manteb terpilih mewakili komunitasan dalang indonesia untuk menerima penghargaan tersebut.

Beberapa penghargaanpun pernah diterima oleh Ki Manteb. Pada Tahun 1995 Ia mendapat penghargaan dari Presiden Soeharto berupa Satya Lencana Kebudayaan, kemudian pada tahun 2004 Ki Manteb memecahkan rekor MURI (Museum Rekor Indonesia) karena kegemilangannya mendalang selama 24 jam 28 menit tanpa istirahat. Dan  pada tahun 2010 penghargaan “Nikkei Asia Prize Award 2010” dalam bidang kebudayaan.dianugerahkan kepada Ki Manteb Soedharsono karena kontribusinya yang signifikan bagi kelestarian dan kemajuan kebudayaan Indonesia terutama wayang kulit.

Dalam proses berkarya seni pakeliran, Ki Manteb sangat terbuka dalam menyikapi aturan baku. Menurutnya aturan baku dapat berubah asal dalam merubahnya tetap menganut pada aspek kepatutan terhadap kewajaran irama hidup dan tetap pula patuh dan menghormati nilai-nilai yang terbawa dalam kehidupan. Dan sikap terbuka itulah yang ia yakini akan selalu menciptakan arus pembaharuan di dunia wayang kulit. Dan kreatifitas dan inovasi yang telah diciptakan oleh Ki Manteb Soedharsono telah menunjukkan pengaruh besar sekali terhadap arah perkembangan seni pertunjukan wayang kulit. Kreasi-kreasinya banyak dianut dan menjadi pusat inspirasi bagi dalang-dalang yang lebih muda. Kekayaan ilmu, pengalaman berpentas dan pengembaraan kreatifnya bak mata air  tak surut untuk dibagi.

Sumber
http://www.kimanteb-oye.com/index.php?option=com_content&view=category&layout=blog&id=34&Itemid=53&lang=id

Ki Enthus Susmono

Dilahirkan dari keluarga dalang, Enthus Susmono lahir pada tanggal 21 Juni 1966 di Desa Dampyak, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal. Ia adalah anak satu-satunya Soemarjadihardja, dalang wayang golèk terkenal di Tegal, dengan istri ketiga yang bernama Tarminah, bahkan R.M. Singadimedja, kakek moyangnya, adalah dalang terkenal dari Bagelen pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat di Mataram.

KI Enthus Susmono dengan segala kiprahnya yang kreatif , inovatif serta intensitas eksplorasi yang tinggi telah membawa dirinya menjadi salah satu dalang kondang dan terbaik yang dimiliki negeri ini. Pikiran dan darah segarnya mampu menjawab tantangan dan tuntutan yang disodorkan oleh dunianya, yaitu jagad pewayangan. Gaya sabetannya yang khas kombinasi sabet wayang golek dan wayang kulit membuat pertunjukannya berbeda dengan dalang-dalang lainnya. Ia juga memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menyusun komposisi musik baik modern maupun tradisi (gamelan). Kekuatan mengintrepretasi dan mengadaptasi cerita serta kejelian membaca isu-isu up to date membuat gaya pakelirannya menjadi hidup dan interaktif. Didukung eksplorasi pengelolaan ruang artisitik kelir menjadikannya lakon-lakon yang ia bawakan bak pertunjukan opera wayang yang komunikatif, spektakuler, aktual dan menghibur.

Ia adalah salah satu dalang yang mampu membawa pertunjukan wayang menjadi media komunikasi dan dakwah yang efektif. Pertunjukan wayangnya kerap dijadikan sebagai ujung tombak untuk menyampaikan program-program pemerintah kepada masyarakat, seperti: kampanye anti narkoba, HIV/Aids, HAM, Global Warming, program KB, kampanye pemilu damai,sosialisasi Mahkamah Konstitusi RI dan lain-lain Disamping dia juga aktif mendalang di beberapa pondok pesantren melalui media Wayang Wali Sanga.

Kemahiran dan “kenakalannya” mendesign wayang-wayang baru/kontemporer seperti wayang Goerge Bush, Saddam Husein, Osama bin Laden, Gunungan Tsunami Aceh, Gunungan Harry Potter, Batman, wayang alien, wayang tokoh-tokoh politik dan lain-lain membuat pertunjukan wayangnya selalu segar, penuh daya kejut dan mampu menembus beragam segment masyarakat. Ribuan penonton selalu membanjiri saat ia mendalang. Keberaniannya melontarkan kritik terbuka dalam setiap pertunjukan wayangnya, memposisikan tontonan wayang bukan sekedar media hiburan melainkan adalah sebagai media alternatif untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.

Baginya, wayang adalah sebuah kesenian tradisi yang tumbuh dan harus selalu dimaknai kehadiriannya agar tidak beku dalam kemandegan. Daya kreatif dan inovasinya telah mewujud dalam berbagai bentuk sajian wayang, antara lain: wayang wali, wayang planet (2001-2002), Wayang Wali (2004-2005), Wayang Prayungan,  Wayang Rai Wong (2004-2006), Wayang Blong (2007) dan lain-lain. Museum Rekor Dunia Indonesia-pun (MURI) menganugerahi dirinya sebagai dalang terkreatif dengan kreasi jenis wayang terbanyak (1491 wayang). Dan beberapa wayang kreasinya telah dikoleksi oleh beberapa museum di dunia seperti TROPEN Museum di Amsterdam-Belanda, Museum of Internasional Folk Arts (MOIFA) di New Meksiko dan Museum Wayang Walter Angts di Jerman Semuanya tak lain dimuarakan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat luas terhadap wayang, penajaman pasar dan membumikan kembali wayang kulit di tanah air tercinta ini.

Pada tahun bulan Januari 2009, Karya Wayang Kulit Ki Enthus dipamerkan dalam event bergengsi di Museum Tropen Belanda dengan tajuk “ Wayang Superstar The Theatre World of Ki Enthus Susmono. Kemudian pada bulan Juni 2009 Ki Enthus menggelar serangkain tour pentas wayang “DEWA RUCI” di beberapa Negara seperti Belanda, Perancis dan Korea Selatan.

Sujiwo Tejo

Biodata
Lahir 31 Agustus 1962 (umur 49)
Asal Bendera Indonesia Jember, Indonesia
Pekerjaan Penyanyi, Aktor, Penulis, Pemusik, Dalang, Sutradara
Situsweb http://sujiwotejo.com/

Agus Hadi Sudjiwo (lahir di Jember, Jawa Timur, 31 Agustus 1962; umur 49 tahun) atau lebih dikenal dengan nama Sujiwo Tejo adalah seorang budayawan Indonesia. Ia adalah lulusan dari ITB. Sempat menjadi wartawan di harian Kompas selama 8 tahun lalu berubah arah menjadi seorang penulis, pelukis, pemusik dan dalang wayang. Selain itu ia juga sempat menjadi sutradara dan bermain dalam beberapa film seperti Janji Joni dan Detik Terakhir. Selain itu dia juga tampil dalam drama teatrikal KabaretJo yang berarti "Ketawa Bareng Tejo".

Dalam aksinya sebagai dalang, dia suka melanggar berbagai pakem seperti Rahwana dibuatnya jadi baik, Pandawa dibikinnya tidak selalu benar dan sebagainya. Ia seringkali menghindari pola hitam putih dalam pagelarannya.

Karier

Saat kuliah di jurusan Matematika dan jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung, hasrat berkesenian Sujiwo mulai berkembang. Saat itu Sujiwo Tejo menjadi penyiar radio kampus, main teater, dan mendirikan Ludruk ITB bersama budayawan Nirwan Dewanto. Sujiwo Tejo juga menjabat Kepala Bidang Pedalangan pada Persatuan Seni Tari dan Karawitan Jawa di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1981-1983 dan pernah membuat hymne jurusan Teknik Sipil ITB pada Orientasi Studi tahun 1983. Sujiwo Tejo yang mendalang wayang kulit sejak anak-anak, mulai mencipta sendiri lakon-lakon wayang kulit sebagai awal profesinya di dunia wayang dengan judul Semar Mesem (1994). Ia juga menyelesaikan 13 episode wayang kulit Ramayana di Televisi Pendidikan Indonesia tahun 1996, disusul wayang acappella berjudul Shinta Obong dan lakon Bisma Gugur. Pergumulannya dengan komunitas Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI), memberinya peluang untuk mengembangkan dirinya secara total di bidang kesenian. Selain mengajar teater di EKI sejak 1997, Sujiwo Tejo juga memberikan workshop teater di berbagai daerah di Indonesia sejak 1998. Berlanjut pada tahun 1999, Tejo memprakarsai berdirinya Jaringan Dalang. Tujuannya adalah untuk memberi napas baru bagi tumbuhnya nilai-nilai wayang dalam kehidupan masyarakat masa kini. Bahkan pada tahun 2004, Sujiwo Tejo mendalang keliling Yunani. Pada tahun 1998, Sujiwo Tejo mulai dikenal masyarakat sebagai penyanyi (selain sebagai dalang) berkat lagu-lagunya dalam album Pada Suatu Ketika. Video klip "Pada Suatu Ketika" meraih penghargaan video klip terbaik pada Grand Final Video Musik Indonesia 1999, dan video klip lainnya merupakan nominator video klip terbaik untuk Grand Final Video Musik Indonesia tahun 2000. Kemudian diikuti labum berikutnya yaitu Pada Sebuah Ranjang (1999), Syair Dunia Maya (2005), dan Yaiyo (2007). Selain ndalang, Sujiwo Tejo juga aktif dalam menggelar atau turut serta dalam pertunjukan teater. Antara lain, membuat pertunjukan Laki-laki kolaborasi dengan koreografer Rusdy Rukmarata di Gedung Kesenian Jakarta dan Teater Utan Kayu, 1999. Sujiwo Tejo juga menjadi Sang Dalang dalam pementasan EKI Dancer Company yang bertajuk Lovers and Liars di Balai Sarbini, Sabtu dan Minggu, 27-28 Februari 2004. Selain teater, Sujiwo Tejo juga bermain dan menjadi sutradara film. Debut filmnya adalah Telegram (2001) arahan Slamet Rahardjo dengan lawan main Ayu Azhari. Film ini bahkan meraih Best Actress untuk Ayu Azhari dalam Asia-Pacific Film Festival. Kemudian dilanjutkan Kafir (2002), Kanibal (2004) menjadi Dukun Kuntetdilaga, Janji Joni (2005), dan Kala (2007). Bersama Meriam Bellina, Sujiwo Tejo membintangi Gala Misteri SCTV yang berjudul Kafir-Tidak Diterima di Bumi (2004). Sujiwo Tejo juga menggarap musik untuk pertunjukan musikal berjudul Battle of Love-when love turns sour, yang digelar 31 Mei sampai 2 Juni 2005 di Gedung Kesenian Jakarta. Hasil pertunjukan karya bersama Rusdy Rukmarata (sutradara & koreografer) dan Sujiwo Tejo (komposer musik) akan digunakan untuk membiayai program pendidikan dan pelatihan bagi anak-anak putus sekolah yang dikelola oleh Yayasan Titian Penerus Bangsa.Sujiwo Tejo juga menyutradarai drama musikal yang berjudul 'Pangeran Katak dan Puteri Impian' yang digelar di Jakarta Convention Center tanggal 1 dan 2 Juli 2006.

Diskografi

Filmografi

sebagai aktor

 sebagai sutradara

Sinetron

Buku

  • Kelakar Madura buat Gus Dur (Yogyakarta, Lotus, 2001)
  • Dalang Edan (Aksara Karunia, 2002)
  • The Sax (Eksotika Karmawibhangga Indonesia, 2003)
  • Ngawur Karena Benar (Penerbit Imania, Februari, 2012)
  • Jiwo J#ncuk (GagasMedia, Juni 2012)






Sumber :
http://sujiwotejo.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5&Itemid=38
http://id.wikipedia.org/wiki/Sujiwo_Tejo


 

 


 

Selasa, 14 Agustus 2012

Gunting Sjafruddin

Pemerintahan RIS baru saja berdiri, tetapi jumlah uang yang beredar sudah mencapai angka 3,9 milyar rupiah. Jumlah tersebut dianggap berlebihan karena pemerintah mentargetkan uang beredar hanya sekitar 2,5 milyar rupiah atau sekitar 6 kali lipat dari posisi tahun 1938. Oleh karena itu pemerintah RIS harus mengambil tindakan mengurangi jumlah uang beredar sampai setengah dari jumlah yang ada.
Karena pada waktu itu pemerintah belum mampu mencari sumber pembiayaan dari pasar, maka menteri keuangan Mr. Sjafruddin Prawiranegara memilih tindakan pembersihan uang yang drastis, dengan sekali pukul menghasilkan dua keuntungan :
1. Langsung mengurangi jumlah uang beredar
2. Menghasilkan pinjaman sekitar 1,5 milyar rupiah
Tindakan pembersihan uang yang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. PU/1 pada tanggal 19 Maret 1950 ini dikenal sebagai Gunting Sjafruddin (Safruddin cut), karena dilakukan dengan cara menggunting uang menjadi 2 bagian. Kita lihat iklan yang terdapat pada mingguan Sedar tertanggal 10 November 1950 (diambil dari Jurnal Rupiah asuhan pak Adi Pratomo).

Iklan dari mingguan Sedar 10 November 1950

 Uang kertas yang terkena gunting adalah pecahan 5 gulden ke atas yang pada waktu itu masih dipergunakan oleh masyarakat, sedangkan uang Jepang (JIM), ORI dan ORIDA tidak terkena aturan tersebut. Mari kita lihat jenis2 uang yang terkena gunting Sjafruddin yaitu :
 1. Semua pecahan seri JP Coen, mulai dari 5 gulden sampai dengan 1000 gulden
2. Semua pecahan seri wayang mulai dari 5 gulden sampai dengan 1000 gulden
3. Seri NICA pecahan 5 sampai dengan 500 gulden

 4. Seri Federal 1946 pecahan 5 violet, 10 hijau dan 25 merah

Uang-uang kertas yang digunting dibedakan menjadi 2 bagian yaitu kiri dan kanan.


Bagian KIRI :

Tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula. Dalam jangka waktu yang telah ditentukan (22 Maret sd 16 April 1950), bagian kiri uang dapat ditukar dengan uang baru yang diterbitkan oleh De Javasche Bank berupa pecahan 1/2, 1 dan 2,5 gulden. Ketiga pecahan baru tersebut dikenal sebagai seri Federal III tahun 1948. Sebelumnya pecahan di bawah 5 gulden bukan diterbitkan oleh DJB melainkan oleh pemerintah Hindia Belanda (seri munbiljet).

 Bagian kiri dapat ditukar dengan uang baru bernilai 1/2 dari nominal semula


 Seri Federal III 1948 merupakan seri yang diterbitkan sebagai pengganti bagian kiri uang yang dipotong. Tidak lama kemudian untuk mengisi kekosongan, dikeluarkan seri Federal I 1946 pecahan lainnya (5 coklat, 10 ungu, 25 hijau, 50, 100, 500 dan 1000 gulden) Jadi sebenarnya seri Federal I 1946 terdiri dari 2 jenis yang diedarkan pada saat yang berbeda :
Pecahan 5 violet, 10 hijau dan 25 merah yang terkena gunting Sjafruddin dan pecahan-pecahan lainnya yang diedarkan belakangan dan tidak terkena gunting. Tidak heran pecahan yang terkena gunting lebih sulit ditemukan dalam keadaan utuh dan tentunya berharga lebih mahal.

Bagian KANAN :

 Bagian ini dapat ditukarkan dengan obligasi pemerintah senilai 1/2 dari harga uang semula. Obligasi ini berjangka waktu 40 tahun dengan bunga 3% pertahun. Walaupun dapat ditukarkan, tetapi masyarakat pada waktu itu banyak yang masih belum mengerti sehingga bagian kanan uang hanya disimpan di bawah bantal. Hal inilah yang menyebabkan mengapa banyak bagian kanan yang masih tersisa sampai saat ini.

Bagian kanan ditukarkan obligasi dengan nilai 1/2 nominal. 

Obligasi pemerintah ini dikeluarkan dalam nominal 100, 500 dan 1000 rupiah, didalamnya terdapat Petikan Keputusan Menteri Keuangan tanggal 19 maret 1950 No. PU/2. Serta 43 buah kupon yang dapat digunting serta ditukarkan di semua kantor De Javasche Bank.

Obligasi pemerintah dengan nominal 100, 500 dan 1000 rupiah 

Petikan Keputusan Menteri Keuangan No. PU/2 tanggal 19 Maret 1950 

 Kupon tahunan sebanyak 43 lembar dengan tingkat suku bunga 3% 


Tiap kupon memiliki tanggal, tahun dan nilai nominal, untuk obligasi 100 rupiah tiap kupon bernilai R 3.- (3 rupiah), R 15.- untuk obligasi 500 rupiah dan R 30.- untuk obligasi 1000 rupiah. Selain itu setiap kupon memiliki nomor urut dari 1 sampai dengan 43. Nomor urut 1 artinya kupon tersebut dapat ditukarkan di kantor DJB pada tanggal 1 September 1951, nomor urut 2 dapat ditukarkan pada tanggal 1 September 1952 dan seterusnya sampai dengan nomor urut 43 pada 1 September tahun 1993. Tetapi siapa sih yang kerajinan setiap tahun menukarkan kupon2 tersebut? Rata-rata obligasi yang ada hanya terpakai 2-10 lembar kupon saja, bahkan ada yang masih utuh belum terpakai sama sekali.

Contoh kupon obligasi 1000 rupiah, tiap kupon bernilai R 30.- (30 rupiah). Perhatikan tanggal, tahun dan nomor urut di bagian kiri atas. 


Akibat adanya kebijaksanaan ini sangat banyak uang-uang kertas DJB yang terkena imbasnya, sampai saat inipun seringkali kita menemukan uang2 kertas DJB pecahan besar hanya setengah sisinya saja. Tentu hal ini sangat mengurangi nilai uang tersebut, tetapi bagaimanapun juga kebijaksanaan gunting Sjafruddin merupakan bagian dari sejarah negara kita. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Mari kita berharap semoga kejadian seperti ini tidak pernah terulang kembali.


by : dr Arifin Martoyo

http://www.uang-kuno.com/2011/03/gunting-sjafruddin.html